Oleh Evi Nur Ihsani
Sejak pertengahan bulan April, tepatnya pada tanggal 16 hingga 9 Mei 2012 mendatang para pegiat pendidikan disibukkan dengan hajat tahunan nasional bernamakan Ujian Nasional (UN), pelaksanaannya diawali di tingkat SMA/MA/SMK pada 16-19 April 2012, selanjutnya SMP/MTs/SMPLB pada 23-26 April 2012, dan terakhir tingkat SD/MI/SDLB pada 7-9 Mei 2012. Bukan hanya segenap civitas akademika sekolah yang merasa was-was akan segala hal yang mungkin terjadi pada UN kali ini, orang tua siswa, pemerintah, lembaga independen pemerhati pendidikan dan banyak orang dari berbagai elemen masyarakat juga ikut-ikutan “tidak bisa tidur”.
UN memang masih menjadi PR besar pemerintah terkait keberadaannya yang kontroversial. Masih lekat dalam ingatan kita ketika pada tahun 2009 secara bersamaan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung memenangkan gugatan 58 orang warga perwakilan masyarakat yang menghendaki penghentian kebijakan UN oleh pemerintah. Namun ternyata UN masih tetap dilaksanakan walaupun dengan beberapa perubahan, misalnya nilai akhir yang merupakan gabungan dari nilai rata-rata sekolah dengan nilai rata-rata hasil UN, kebijakan kelulusan yang berada di tangan sekolah, dan lain-lain.
Namun di balik itu semua, selain untuk memetakan mutu pendidikan nasional termasuk memetakan daya serap siswa, UN juga dapat dijadikan salah satu instrumen evaluasi keberhasilan program pendidikan karakter bangsa yang dicanangkan Mendikbud, M. Nuh sejak tahun 2010 lalu.
Pendidikan karakter menurut Heri Gunawan (2012), dalam bukunya Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi bukanlah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya, melainkan menuntut adanya pembiasaan untuk berbuat baik seperti berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, bekerja keras, dan lain-lain. Maka proses dan hasil pelaksanaan Ujian Nasional dapat dijadikan gambaran keberhasilan program pendidikan karakter yang selama ini ditanamkan pada diri siswa maupun guru, misalnya apakah dalam persiapan UN siswa sudah belajar dan berdoa secara maksimal dan dalam pelaksanaannya mereka berlaku jujur atau malah berbuat curang.
Bukan hanya sekolah yang bertanggung jawab menanamkan dan menerapkan pendidikan karakter. Keluarga, pemerintah, lingkungan sekitar dan seluruh masyarakat pun memiliki kewajiban mengenai hal ini. Namun sekolah-lah yang diberi tanggung jawab dan kepercayaan oleh masyarakat untuk mendidik para siswa baik dengan menyampaikan ilmu pengetahuan maupun memperhatikan dan membentuk karakternya.
Selama tiga tahun siswa berjuang untuk pergi ke sekolah dan melaksanakan proses pembelajaran, kelulusannya ditentukan oleh hasil pelaksanaan UN yang dilakukan kurang lebih hanya 10 jam, ini menjadi alasan tersendiri mengapa ada beberapa oknum kepala sekolah, guru dan siswa yang melakukan segala cara untuk mencapai nilai yang diinginkan ketika ujian berlangsung. Padahal seharusnya sikap “melakukan segala cara” tersebut dilakukan jauh-jauh hari sebelum ujian, misalnya dengan mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas, mengadakan belajar tambahan di luar jam pelajaran, memotivasi siswa untuk giat belajar, menamkan sikap jujur dan memperkuat kepercayaan-dirinya, dan masih banyak lagi.
Kepala sekolah yang konsisten menerapkan nilai-nilai luhur terhadap siswa sebagai wujud pelaksanaan pendidikan karakter dalam kesehariannya tidak akan mendadak sibuk menciptakan temuan baru mengenai metode mencontek masal ketika UN, karena ia merasa telah melakukan ikhtiar yang maksimal dengan meningkatkan kualitas pembelajaran. Guru yang mendidik siswanya untuk memiliki sikap ksatria dan tidak berbuat curang pasti akan tenang ketika sedang mengawas, bukan malah sibuk membetulkan kunci jawaban siswa yang dianggap tidak tepat. Siswa yang dalam kesehariannya dituntut untuk berperilaku jujur, percaya diri, disiplin, tekun dan bekerja keras akan mengerjakan soal dengan tenang dan fokus, tidak akan merasa tegang bahkan takut dengan keberadaan polisi ataupun CCTV. Orang tua yang di rumah selalu mendidik dan menasihati anaknya untuk selalu taat beribadah dan bertawakal atas kehendak Tuhan tidak akan merasa marah, kecewa bahkan frustasi karena anaknya belum bisa mencapai target nilai yang diharapkan. Begitu pula masyarakat di lingkungan sekitar, jika mereka menanamkan sikap santun, menghargai karya dan prestasi orang lain, patuh terhadap norma-norma sosial, dan memiliki sikap empati juga solidaritas terhadap sesama, maka tidak mungkin ada siswa yang belum berhasil lulus UN mereka jadikan bahan gunjingan atau ejekan.
Faktanya, beberapa media nasional memberitakan adanya pihak-pihak yang berupaya melakukan kecurangan dalam UN. Seperti yang diberitakan Republika (17/04), Pusat Informasi dan Humas Kemendibud Ibnu Hamad mengatakan, pada hari pertama Posko UN menerima 254 pengaduan terkait UN, dan 54 pengaduan di antaranya adalah soal isu kecurangan UN. Kasus ini menjadi salah satu bukti bahwa pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah belumlah optimal.
Sejak pertengahan bulan April, tepatnya pada tanggal 16 hingga 9 Mei 2012 mendatang para pegiat pendidikan disibukkan dengan hajat tahunan nasional bernamakan Ujian Nasional (UN), pelaksanaannya diawali di tingkat SMA/MA/SMK pada 16-19 April 2012, selanjutnya SMP/MTs/SMPLB pada 23-26 April 2012, dan terakhir tingkat SD/MI/SDLB pada 7-9 Mei 2012. Bukan hanya segenap civitas akademika sekolah yang merasa was-was akan segala hal yang mungkin terjadi pada UN kali ini, orang tua siswa, pemerintah, lembaga independen pemerhati pendidikan dan banyak orang dari berbagai elemen masyarakat juga ikut-ikutan “tidak bisa tidur”.
UN memang masih menjadi PR besar pemerintah terkait keberadaannya yang kontroversial. Masih lekat dalam ingatan kita ketika pada tahun 2009 secara bersamaan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung memenangkan gugatan 58 orang warga perwakilan masyarakat yang menghendaki penghentian kebijakan UN oleh pemerintah. Namun ternyata UN masih tetap dilaksanakan walaupun dengan beberapa perubahan, misalnya nilai akhir yang merupakan gabungan dari nilai rata-rata sekolah dengan nilai rata-rata hasil UN, kebijakan kelulusan yang berada di tangan sekolah, dan lain-lain.
Namun di balik itu semua, selain untuk memetakan mutu pendidikan nasional termasuk memetakan daya serap siswa, UN juga dapat dijadikan salah satu instrumen evaluasi keberhasilan program pendidikan karakter bangsa yang dicanangkan Mendikbud, M. Nuh sejak tahun 2010 lalu.
Pendidikan karakter menurut Heri Gunawan (2012), dalam bukunya Pendidikan Karakter; Konsep dan Implementasi bukanlah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya, melainkan menuntut adanya pembiasaan untuk berbuat baik seperti berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, bekerja keras, dan lain-lain. Maka proses dan hasil pelaksanaan Ujian Nasional dapat dijadikan gambaran keberhasilan program pendidikan karakter yang selama ini ditanamkan pada diri siswa maupun guru, misalnya apakah dalam persiapan UN siswa sudah belajar dan berdoa secara maksimal dan dalam pelaksanaannya mereka berlaku jujur atau malah berbuat curang.
Bukan hanya sekolah yang bertanggung jawab menanamkan dan menerapkan pendidikan karakter. Keluarga, pemerintah, lingkungan sekitar dan seluruh masyarakat pun memiliki kewajiban mengenai hal ini. Namun sekolah-lah yang diberi tanggung jawab dan kepercayaan oleh masyarakat untuk mendidik para siswa baik dengan menyampaikan ilmu pengetahuan maupun memperhatikan dan membentuk karakternya.
Selama tiga tahun siswa berjuang untuk pergi ke sekolah dan melaksanakan proses pembelajaran, kelulusannya ditentukan oleh hasil pelaksanaan UN yang dilakukan kurang lebih hanya 10 jam, ini menjadi alasan tersendiri mengapa ada beberapa oknum kepala sekolah, guru dan siswa yang melakukan segala cara untuk mencapai nilai yang diinginkan ketika ujian berlangsung. Padahal seharusnya sikap “melakukan segala cara” tersebut dilakukan jauh-jauh hari sebelum ujian, misalnya dengan mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas, mengadakan belajar tambahan di luar jam pelajaran, memotivasi siswa untuk giat belajar, menamkan sikap jujur dan memperkuat kepercayaan-dirinya, dan masih banyak lagi.
Kepala sekolah yang konsisten menerapkan nilai-nilai luhur terhadap siswa sebagai wujud pelaksanaan pendidikan karakter dalam kesehariannya tidak akan mendadak sibuk menciptakan temuan baru mengenai metode mencontek masal ketika UN, karena ia merasa telah melakukan ikhtiar yang maksimal dengan meningkatkan kualitas pembelajaran. Guru yang mendidik siswanya untuk memiliki sikap ksatria dan tidak berbuat curang pasti akan tenang ketika sedang mengawas, bukan malah sibuk membetulkan kunci jawaban siswa yang dianggap tidak tepat. Siswa yang dalam kesehariannya dituntut untuk berperilaku jujur, percaya diri, disiplin, tekun dan bekerja keras akan mengerjakan soal dengan tenang dan fokus, tidak akan merasa tegang bahkan takut dengan keberadaan polisi ataupun CCTV. Orang tua yang di rumah selalu mendidik dan menasihati anaknya untuk selalu taat beribadah dan bertawakal atas kehendak Tuhan tidak akan merasa marah, kecewa bahkan frustasi karena anaknya belum bisa mencapai target nilai yang diharapkan. Begitu pula masyarakat di lingkungan sekitar, jika mereka menanamkan sikap santun, menghargai karya dan prestasi orang lain, patuh terhadap norma-norma sosial, dan memiliki sikap empati juga solidaritas terhadap sesama, maka tidak mungkin ada siswa yang belum berhasil lulus UN mereka jadikan bahan gunjingan atau ejekan.
Faktanya, beberapa media nasional memberitakan adanya pihak-pihak yang berupaya melakukan kecurangan dalam UN. Seperti yang diberitakan Republika (17/04), Pusat Informasi dan Humas Kemendibud Ibnu Hamad mengatakan, pada hari pertama Posko UN menerima 254 pengaduan terkait UN, dan 54 pengaduan di antaranya adalah soal isu kecurangan UN. Kasus ini menjadi salah satu bukti bahwa pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah belumlah optimal.