dakwatuna.com – Memasuki usia kepala dua (dua puluhan) adalah saat-saat kritis bagi pemuda. Pada usia itu, menurut hemat saya, seseorang mulai memasuki usia menggalau. Tingkat kedewasaan tengah ia masuki. Ia berada pada masa pencarian. Bukan hanya pencarian hakikat/identitas diri, tapi juga pencarian belahan hati (jodoh).
Fenomena galau hinggap pada siapa saja, tak terkecuali para aktivis muda. Dengan semakin dibukanya kran komunikasi melalui media sosial, segala hal bisa dengan mudah diketahui termasuk kegalauan para aktivis. Memang, tak semua aktivis muda menunjukkan aktivitas galaunya di jejaring sosial, utamanya Facebook. Namun juga tak sedikit yang justru lantang menyuarakan kegalauannya itu.
Kegalauan yang dialami aktivis memang mengarah pada hal yang sama, pencarian kekasih hati (jodoh). Menunjukkan hal itu bisa melalui status Facebook, share link tentang hal terkait pernikahan, membuat catatan, dll. Jika mengemuka status dari seorang akhwat/ikhwan lajang yang menjurus ke pernikahan, maka ramailah komentar mengerubungi si status. Ada di antaranya yang meledek, mensupport, menasihati, dll.
Ada dua indikasi ditunjukkannya kegalauan oleh para aktivis muda di dunia maya. Pertama, ingin menunjukkan eksistensi diri. Ya, aktualisasi memang menjadi salah satu hal terkuat ramainya dunia maya era kini. Hampir semua orang ingin diketahui dan mendapat pengakuan di mata khalayak umum. Kedua, ingin diapresiasi. Apresiasi adalah hal yang ingin didapat oleh manusia setelah ia diketahui eksistensi dirinya. Ibarat seorang murid, ia berusaha mendapat perhatian guru dengan salah satunya rajin bertanya. Maka sang guru pun akan mengenal murid tersebut dan melabel positif sebagai murid yang aktif dan partisipatif.
Hakikatnya, tak ada yang salah dengan kegalauan yang dialami para aktivis muda. Ia tiada lain adalah suatu kefitrahan. Yang sangat disayangkan adalah, terkadang, kegalauan yang ditunjukkan lewat status atau apapun di FB sering menyeret pada hal yang kurang bermanfaat. Tak jarang ikhwan-akhwat awalnya saling meledek, kelamaan menjadi semakin intens berkomunikasi, saling menjodohkan, dll. Tentu saja hal tersebut sangat mengganggu dan bisa menjadi jebakan fitnah bagi oknum yang bersangkutan. Prasangka akan muncul di kalangan sesama aktivis lain atas penyikapan oknum terhadap hal ini.
Belum lagi ditambah dengan komentar dari masyarakat luas. Dunia maya bukan milik satu komunitas tertentu saja. Di dalamnya, terdapat jutaan pasang mata yang mampu melihat dan mengawasi laku kita. Bersikap galau di FB bukanlah teladan yang layak untuk dipublikasikan secara luas. Tak ada memang dalil yang melarang aktivitas galau di FB semacam ini. Namun jika memang sudah masanya, sudah pada waktunya, maka dewasalah. Segerakanlah pernikahan yang memang secara syariat baik, sebagai upaya penggenapan sebagian din. Jangan sampai mengawali hal baik itu dari sesuatu yang keruh dan berbau prasangka. Apapun alasannya, saya sebagai pengamat merasa miris dan resah jika menyaksikan kegalauan berlabuh di status FB aktivis muda. Pandangan subjektif saya mengatakan bahwa hal itu menunjukkan belum cukup dewasalah orang yang bersangkutan.
Masih banyak hal lebih bermanfaat yang bisa dilakukan. Ya, tidak jauh dari persiapan itu sendiri. Aspek ruhiyah, ilmiyah-fikriyah, jasadiyah, maadiyah (material), dan ijtima’iyyah adalah hal yang tak sepele untuk disiapkan. Maka jika memang sudah masanya, sudah pada waktunya segerakanlah. Karena pemuda yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari maksiat adalah satu dari tiga golongan yang wajib Allah tolong berdasarkan hadits At Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.
Wallahu a’lam bish shawab.
Fenomena galau hinggap pada siapa saja, tak terkecuali para aktivis muda. Dengan semakin dibukanya kran komunikasi melalui media sosial, segala hal bisa dengan mudah diketahui termasuk kegalauan para aktivis. Memang, tak semua aktivis muda menunjukkan aktivitas galaunya di jejaring sosial, utamanya Facebook. Namun juga tak sedikit yang justru lantang menyuarakan kegalauannya itu.
Kegalauan yang dialami aktivis memang mengarah pada hal yang sama, pencarian kekasih hati (jodoh). Menunjukkan hal itu bisa melalui status Facebook, share link tentang hal terkait pernikahan, membuat catatan, dll. Jika mengemuka status dari seorang akhwat/ikhwan lajang yang menjurus ke pernikahan, maka ramailah komentar mengerubungi si status. Ada di antaranya yang meledek, mensupport, menasihati, dll.
Ada dua indikasi ditunjukkannya kegalauan oleh para aktivis muda di dunia maya. Pertama, ingin menunjukkan eksistensi diri. Ya, aktualisasi memang menjadi salah satu hal terkuat ramainya dunia maya era kini. Hampir semua orang ingin diketahui dan mendapat pengakuan di mata khalayak umum. Kedua, ingin diapresiasi. Apresiasi adalah hal yang ingin didapat oleh manusia setelah ia diketahui eksistensi dirinya. Ibarat seorang murid, ia berusaha mendapat perhatian guru dengan salah satunya rajin bertanya. Maka sang guru pun akan mengenal murid tersebut dan melabel positif sebagai murid yang aktif dan partisipatif.
Hakikatnya, tak ada yang salah dengan kegalauan yang dialami para aktivis muda. Ia tiada lain adalah suatu kefitrahan. Yang sangat disayangkan adalah, terkadang, kegalauan yang ditunjukkan lewat status atau apapun di FB sering menyeret pada hal yang kurang bermanfaat. Tak jarang ikhwan-akhwat awalnya saling meledek, kelamaan menjadi semakin intens berkomunikasi, saling menjodohkan, dll. Tentu saja hal tersebut sangat mengganggu dan bisa menjadi jebakan fitnah bagi oknum yang bersangkutan. Prasangka akan muncul di kalangan sesama aktivis lain atas penyikapan oknum terhadap hal ini.
Belum lagi ditambah dengan komentar dari masyarakat luas. Dunia maya bukan milik satu komunitas tertentu saja. Di dalamnya, terdapat jutaan pasang mata yang mampu melihat dan mengawasi laku kita. Bersikap galau di FB bukanlah teladan yang layak untuk dipublikasikan secara luas. Tak ada memang dalil yang melarang aktivitas galau di FB semacam ini. Namun jika memang sudah masanya, sudah pada waktunya, maka dewasalah. Segerakanlah pernikahan yang memang secara syariat baik, sebagai upaya penggenapan sebagian din. Jangan sampai mengawali hal baik itu dari sesuatu yang keruh dan berbau prasangka. Apapun alasannya, saya sebagai pengamat merasa miris dan resah jika menyaksikan kegalauan berlabuh di status FB aktivis muda. Pandangan subjektif saya mengatakan bahwa hal itu menunjukkan belum cukup dewasalah orang yang bersangkutan.
Masih banyak hal lebih bermanfaat yang bisa dilakukan. Ya, tidak jauh dari persiapan itu sendiri. Aspek ruhiyah, ilmiyah-fikriyah, jasadiyah, maadiyah (material), dan ijtima’iyyah adalah hal yang tak sepele untuk disiapkan. Maka jika memang sudah masanya, sudah pada waktunya segerakanlah. Karena pemuda yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari maksiat adalah satu dari tiga golongan yang wajib Allah tolong berdasarkan hadits At Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.
Wallahu a’lam bish shawab.